-->

Jumat, 06 November 2015


Ayunan bayi itu sudah tua. Benda itu berbentuk lempengan besi dengan pengait di sisi kiri kanannya untuk menggantungkan kain sarung. Lempengan itu lantas digantungkan pada sebuah per panjang dan diikatkan pada sebatang cabang pohon yang tumbuh melintang. Ayunan tua yang dulunya tergantung di pintu kamar itu sangat berjasa karena selama bertahun-tahun telah berhasil membuai tiga orang bayi agar tertidur lelap sehingga sang Ibu bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Ketiga bayi tersebut saat itu telah berusia delapan, enam dan empat tahun, dan hampir setiap hari heboh memperebutkan giliran untuk menaiki ayunan yang kini tergantung di pohon jambu di depan rumah. Mereka tak peduli dengan per di ayunan yang mulai kendor dan melar saat tubuh-tubuh  mungil itu bertumpukan di dalamnya. 

Nah, bocah-bocah tersebut adalah saya, Wulan, kakak saya dan adik saya, Wiwin. Kala itu kami masih tinggal di daerah bernama Batu Dua, di Tanjung Pinang. Kami menempati sebuah rumah pinjaman untuk tentara TNI Angkatan Udara karena Bapak adalah seorang tentara dan sering harus berjaga malam di pos AU. Rumah kami yang mungil itu bertengger di atas bukit, tidak jauh dari kantor Bapak - markas TNI Angkatan Udara - yang terletak di bawah dan hanya dipisahkan dengan tangga batu sehingga setiap jam makan siang Bapak pulang untuk makan di rumah.


Setiap kali saya dan Wulan pulang dari sekolah, maka kegiatan utama kami adalah bermain ayunan tua di depan rumah, seperti hari itu. Gantian dong, masa Wulan terus sih! Teriak saya, sambil mendorong Wulan keras-keras dari ayunan. Walau berusia lebih muda namun saya tidak pernah bersedia mengalah. Nggak mau, aku kan baru sebentar! Tukas Wulan kesal tapi tak mampu menggerakkan ayunan karena empat tangan mungil lainnya telah mencekal kain sarung ayunan dan menahannya dengan kuat. Kok gitu sih! Ini nggak adil, kamu tadi naik lama sekali! Protes kakak saya, tapi karena ayunan tak mampu digerakkan akhirnya dia pun menyerah dan turun.  Kesempatan ini tentu saja tidak dilewatkan oleh Wiwin, si adik bungsu. Sadar dengan tubuhnya yang kecil dan ringkih maka dia pun mengambil strategi dengan menggantungkan separuh badannya ke ayunan sehingga kakak-kakaknya tidak ada yang bisa menaiki benda malang itu. Keluar dari ayunan, Wiwin terakhir saja naiknya! Bentakan itu disambut dengan tangisan keras Wiwin yang memang terkenal gampang menangis dan sulit berhenti kalau sudah menangis.


Ah nangis dia! Kalau Mama sampai dengar bisa-bisa kita dimarahi. Eh biar dia naik dulu saja ya, kalau kita ayun kuat-kuat ntar juga takut dan minta turun, bisik saya jahat. Kakak saya menggangguk antusias tanda setuju. Wiwin sambil tersenyum gembira naik ke atas ayunan, dan kedua orang kakaknya lantas bersama-sama mengayunkan benda itu. Pertama-tama dengan gerakan perlahan, dan ketika si adik kecil terlihat nyaman dan tertawa-tawa, gerakan ayunan pun mulai dipercepat dan semakin cepat. Jangan kuat-kuat! Aku takut! Jeritnya. Namun kedua kakak bandelnya tetap mengayunkannya dengan kencang dan betapa terperanjatnya mereka tatkala ayunan beserta isinya terlepas dari kaitan dan terbang sekitar dua meter dari tempat mereka berdiri. Tedengar suara gedebuk yang keras ketika Wiwin  mendarat di tanah dan tangisnya pun pecah sekencang-kencangnya. 

Kami pun lari tergopoh-gopoh menghampiri, dan serempak berteriak ngeri kala melihat darah segar mengalir dari dagu Wiwin. Mati dah Ndang! Bisa ngamuk Bapak ntar nih, tukas Wulan dengan suara gemetaran. Kamu sih tadi pakai diayun kuat-kuat segala, katanya sambil melotot ke saya yang berjongkok membujuk Wiwin. Eh kok nyalahin sih, kau tadi juga setuju kan. Kalau nggak begitu, mana mau dia turun dari ayunan? Lagian, mana aku tahu ayunannya bakalan copot! Balas saya tak mau disalahkan. Darahnya banyak sekali, kita kasih apa nih supaya berhenti? Kami pun mulai panik dan berusaha menahan aliran darah dengan menggunakan kain sarung ayunan, namun darah tak kunjung berhenti juga. Katanya kalau pakai kopi bisa berhenti. Ambil kopi Bapak di dapur, tapi jangan sampai Mama tahu ya! Saya  langsung  ngibrit ke dapur begitu mendengar instruksi Wulan.


Bubuk kopi memang luar biasa manjur menghentikan darah yang mengucur dari luka, ketika banyak-banyak ditempelkan maka darah seketika berhenti membuat saya dan Wulan menghela nafas puas. Namun menghentikan tangisan Wiwin bukan pekerjaan yang mudah, bocah itu seakan memiliki persediaan air mata bergentong-gentong banyaknya dan selagi kami sibuk membujuk si adik bungsu agar diam Ibu pun keluar dari dalam rumah. Kenapa adik kalian menangis? Ya Tuhan! Kalian apakan si Wiwin?! Teriakan Ibu membuat kami saling berpandangan dan mulai menuding dan menyalahkan satu sama lain. Awas ya, kalau sampai Bapak tahu bisa marah besar nanti. Mana lukanya panjang sekali, harus dibawa ke rumah sakit! Dan seakan-akan memiliki indra keenam dan tahu sedang diperbincangkan, Bapak tiba-tiba muncul dari tangga batu di ujung jalan dan langsung saja tatapannya melihat kami yang sedang merubungi Wiwin. 

Cerita selanjutnya sudah bisa ditebak dan semua itu berjalan dalam tempo yang sangat cepat sehingga saya sendiri sedikit lupa dengan kata-kata amarah yang diledakkan Bapak. Namun yang jelas beliau mengamuk cukup hebat dan sekejap kemudian bersama Ibu lantas membawa Wiwin ke rumah sakit Angkatan Udara yang berada di sebelah kantornya. Satu jam kemudian mereka pun telah kembali dan kami pun harus menerima kembali amarah sesi kedua, kali ini tentunya datang bersama dengan hukuman.

 Lain kali kalau ada kejadian seperti ini lagi kalian harus cepat bilang Mama atau Bapak! Jangan diam-diam saja dan jangan main dokter-dokteran sendiri. Kopi yang ditempelkan itu membuat luka adik kalian susah dibersihkan, padahal lukanya harus segera dijahit'! Kami berdua hanya tertunduk beku sambil sesekali mencuri pandang ke Bapak yang sedang memelototkan mata dan mengomel panjang lebar. Sebagai hukumannya dan supaya kejadian ini tidak terulang lagi, Bapak akan buang ayunannya! Untuk membuktikan kata-katanya, Bapak lantas mengambil ayunan yang masih tergeletak di bawah pohon dan membuangnya ke tengah jalan berdebu di depan rumah.  Kami sebenarnya cukup shock melihatnya namun hanya bisa menatap pasrah, tak berdaya untuk melancarkan aksi protes.  


Saat semua keributan itu telah usai, dan kami pun telah masuk ke dalam rumah. Saya dan Wulan berdiri dari balik jendela mengawasi ayunan yang masih tergeletak di tengah jalan. Kita ambil  dan simpan saja, kan Bapak nggak tahu, usul saya menatap penuh sesal ke mainan yang menjadi kegemaran kami itu Jangan ah, nanti kalau Bapak tahu lebih parah lagi kita dimarahinnya, kata kakak saya terdengar takut walau saya tahu sebenarnya dalam hatinya dia ingin menyelamatkan ayunan itu. 

 Sudah kalian berdua lupakan saja. Ayo kesini bantuin Mama saja, tegur Ibu dari jauh. Kami tetap membandel, tidak beranjak dari jendela, masih menatap nanar ke jalanan. Betapa cemasnya kami tatkala melihat seorang laki-laki berjalan mendekat dan membungkukkan badan ke arah ayunan. Ma lihat, ayunannya diambil orang! Teriak saya panik. Ibu pun langsung berjalan mendekat dan terbengong kala melihat lelaki itu memungut ayunan anak-anaknya dan membawanya pergi. Ma, bilang sama Bapak itu, jangan ambil ayunan kita! Teriak Wulan dengan muka horor sementara saya hanya meloncat-loncat di tempat, bingung harus berbuat apa. Ibu tetap diam mematung  menatap jalanan hingga bayangan laki-laki itu tak tampak lagi dan kemudian beliau berkata, Sudah lupakan saja ayunan itu, mungkin lebih bermanfaat bagi orang lain. Kami pun mengerang bersama-sama, Yahh'!


Cerita lama di atas teringat kembali kala weekend kemarin (seperti minggu-minggu yang lalu) saya menghabiskan waktu di rumah Wiwin, di Mampang. Ibu sedang berada di sana selama beberapa minggu. Kebetulan Wiwin juga baru saja kembali dari umroh, jadi kedatangan saya kali ini bukannya tanpa maksud. Kali ini saya berharap buah tangan dari tanah suci berupa aneka kacang-kacangan dan buah kering yang sudah saya pesan sebelumnya.

Nah seperti biasa jika Ibu dan anak berkumpul maka kami pun mulai bernostalgia tentang masa lalu. Banyak cerita sedih disana tapi ketika dikisahkan kembali membuat kami terbahak-bahak. Cerita kami juga biasanya tidak jauh dari mengenang sifat alm. Bapak yang terkenal keras namun sangat konsisten mendidik putra-putrinya. Jadi sebenarnya gimana perasaan Mama waktu ayunannya diambil? Tanya Wiwin cengar-cengir jahil dengan nada ingin tahu. Ya Mama sebenarnya 'nyesek' juga, kok ayunannya diambil orang padahal tadinya mau Mama umpetin dulu kalau Bapak-mu nggak tahu. Kami pun ngakak semua mendengar penjelasan itu. Habis mau melarang orang itu ntar Bapak-mu bisa ngamuk. Kalian tahu sendiri sifat alm. Bapak. Jadi walau sebenarnya sayang, ya terpaksa diem saja supaya aman.

Wokeh, saya akhiri tentang cerita ayunan yang telah raib di atas dan lembali ke postingan yang kali ini saya tampilkan. Setelah beberapa hari vakum dari blogging karena terserang batuk super parah, kali ini saya kembali dengan resep pie yang mungkin tidak asing lagi anda temui di JTT. Terus terang saya akui, saya penyuka pie, apalagi pie yang super simple seperti ini. Selain itu saya juga suka segala sesuatu yang mengandung kata rustic di dalamnya, seperti misalnya rustic furniture, rustic kitchen tools, rustic house, rustic garden  hingga rustic pie seperti yang saya hadirkan kali ini. Sebenarnya apa sih arti dari kata rustic tersebut? Menurut kamus Oxford, kata rustic mengacu pada segala sesuatu yang memiliki kesederhanaan dan pesona yang dianggap khas pedesaan. Atau segala sesuatu yang hadir dalam bentuk yang polos dan sederhana.  Memang bagi saya, segala sesuatu yang sederhana dan tampil apa adanya tanpa polesan berlebihan terkadang memberikan pesona dan kecantikannya tersendiri yang  membuat mata ini tak jemu untuk memandang. 


Dalam hal perabotan rumah tangga, terus terang saya senang dengan perabotan kayu polos tanpa cat atau pelitur. Saya juga suka memilih perlengkapan dapur yang tidak terlalu banyak lekuk atau motif. Saya juga tergila-gila dengan kebun yang tidak terlalu teratur dimana beberapa tanaman dibiarkan tumbur meliar dan berbaur menjadi satu menciptakan siluet alami dan kesan seakan mereka tumbuh sendiri di alam terbuka atau belantara.  Dan untuk kue, saya juga suka membuat kue atau cake dengan bentuk yang simple, tampil sederhana dan apa adanya seperti halnya pada drop cookies, atau mango rustic pie seperti  kali ini. Bagi saya, tampilan rustic memberikan kesan hangat, homy, dan welcome.

Nah pie mangga ini sangat mudah di buat, lebih asyiknya lagi isiannya sangat fleksibel tergantung dengan selera anda atau ketersediaan bahan di dapur. Cincangan strawberry, atau coklat, peach kalengan, potongan nanas, tumisan daging cincang, parutan keju atau adonan brownies seperti di Fudgy Chocolate Pie yang pernah saya posting serta ribuan ide liar lainnya yang terlintas dalam benak bisa anda terapkan. Tidak punya cetakan pie? Tidak masalah! Pie ini rustic, dalam arti dia tampil sederhana dan tidak membutuhkan banyak alat untuk membuatnya menjadi spektakuler. Cukup gilas adonan hingga menjadi lempengan bulat, berikan isi di bagian tengahnya dan tekuk sisa-sisa adoan di tepiannya. Pie pun siap diolesi dengan susu cair dan panggang hingga matang. Mudah! ^_^

Berikut resep dan prosesnya ya. 

Fudgy Chocolate Pie[1]



Rustic Mango Pie
Resep pie crust diadaptasikan dari Joy of Baking - Peach Pie[2]

Resep filling mangga hasil modifikasi sendiri

- 2 sendok teh gula pasir

- 1/2 buah jeruk nipis peras air

- parutan kulit jeruk nipis

Cara membuat:


Siapkan mangkuk ukuran besar, masukkan tepung terigu, garam, gula bubuk, aduk rata dengan spatula. Kemudian masukkan mentega/margarine dingin, aduk atau tutupi permukaan mentega/margarine dengan tepung.

Dengan menggunakan pisau pastry, cacah-cacah mentega/margarine bersama dengan tepung terigu hingga mentega dan tepung membentuk butiran-butiran kasar. Biarkan mentega/margarine dengan butiran sebesar kacang tanah. Jangan berlebihan dalam memproses adonan hingga mentega/margarine menjadi hancur tak berbentuk. Berlebihan dalam memproses adonan juga akan membuat mentega/margarine menjadi lumer, adonan menggumpal dan gluten terbentuk. Kondisi ini akan membuat adonan menjadi keras dan bantat.

Note: selain dengan pisau pastry, anda bisa memproses adonan dengan menggunakan garpu, atau dua buah pisau dapur. Hindari memproses adonan dengan jemari tangan, suhu tangan yang hangat akan membuat mentega/margarine menjadi lumer.


Adonan yang terbentuk memiliki tekstur kering, tercerai berai dengan butiran-butiran mentega/margarine yang diselimuti oleh tepung terigu. Nah jika kondisi ini telah tercapai segera hentikan memproses adonan, jika masih ada mentega/margarine berukuran besar, biarkan. Butiran-butiran ini akan lumer ketika pie dipanggang menyisakan ruang kosong di dalam kulit pie dan membuat pie menjadi renyah.

Masukkan air es sedikit demi sedikit dengan sendok, sambil kepalkan adonan dengan tangan untuk membuatnya menyatu menjadi gumpalan besar. Jangan menguleni adonan, tetapi tekan adonan dan gumpalkan seperti membuat bola yang besar. Jika adonan masih terasa kering, sulit digumpalkan maka tambahkan porsi air es.  Adonan yang terbentuk cukup lembab, tidak kering, mudah digumpalkan namun tidak lengket di tangan. Terlalu banyak air akan membuat adonan menjadi basah dan terbentuk gluten. 

Tes kecukupan air dengan mengambil segumpal kecil adonan, pencet adonan dengan jemari tangan. Adonan yang baik akan menyatu namun tidak lengket di jari.

Letakkan selembar plastik wrap di meja dapur, bagi adonan menjadi dua bagian. Tuangkan satu bagian adonan di permukaan plastik kemudian gumpalkan. 


Bentuk adonan menjadi sebuah piringan dengan diameter 15 cm dan tebal sekitar 2 cm. Bungkus dengan plastik wrap. Lakukan pada bagian adonan lainnya. Simpan adonan di chiller kulkas selama 30 menit, agar adonan menjadi rileks dan mentega/margarine mengeras.

Siapkan oven, panaskan di suhu 170'C, letakkan rak pemanggang di tengah oven.

Keluarkan adonan dari chiller, letakkan di permukaan meja. Buka bungkus plastiknya. Kemudian letakkan selembar plastik wrap di permukaan adonan. Gilas perlahan dengan kayu penggilas hingga tipis, ketebalan  sekitar 3 millimeter. 


Potong adonan menjadi bulatan dengan diameter sekitar 12 - 15 cm, letakkan di bagian tengahnya 1 sendok  makan bahan isi. Kemudian tekuk bagian tepiannya ke arah tengah hingga bahan isi tertutup. Sisakan lubang terbuka di tengah pie. 

Atau anda bisa juga mengambil segumpal adonan sebesar bola ping-pong, gilas tipis dan membulat lebar, kemudian isi dengan bahan isiannya dan tekuk. 


Olesi permukaan pie dengan susu cair dengan menggunakan kuas, panggang selama 20 menit atau hingga permukaan pie menjadi coklat kuning keemasan. Keluarkan dari oven, dan biarkan sejenak agar mengeras baru pindahkan pie ke rak kawat agar dingin sempurna. 

Pie siap disantap. Super yummy!

References

  1. ^ Fudgy Chocolate Pie (www.justtryandtaste.com)
  2. ^ Peach Pie (www.joyofbaking.com)

Source : http://www.justtryandtaste.com/2015/02/rustic-mango-pie-dan-cerita-tentang.html
 
Sponsored Links