Hari itu hujan luar biasa deras mengguyur. Sebuah sungai kecil di depan rumah tampak penuh meluap hingga air keruhnya yang berwarna coklat susu tumpah ruah ke badan jalan. Sudah lebih dari satu jam lamanya saya duduk di bagian teratas tangga teras dengan pandangan nanar menatap jembatan kayu kecil yang melintang di tengah sungai. Jembatan reot yang menghubungkan rumah orang tua saya dengan rumah tetangga di depan terkadang menyembul dari balik air namun seringkali tenggelam ditelan keruhnya sungai. Rasa bosan yang menggerogoti hati karena seharian harus mendekam di dalam rumah mulai tak tertahankan. Begitu banyak hal menarik di sekitar rumah yang serasa tak habis-habisnya walau telah saya eksplorasi setiap hari.Â
Penantian saya akhirnya mulai berakhir kala hembusan angin mendorong awan gelap hingga perlahan tersapu pergi dan sinar matahari pun menerobos dengan cerianya. Tetesan besar air perlahan mulai berganti menjadi rintik yang kecil dan menguap terpanggang panasnya sang surya. Semangat saya pun mulai berkobar, sehabis hujan merupakan momen yang sangat menyenangkan. Sungai kecil di depan rumah yang berhulu dan bermuara di laut selalu membawa banyak ikan-ikan kecil yang terlihat dengan jelas kala lumpur mulai mengendap. Udang kecil akan terperangkap di dalam kolam-kolam imut di halaman rumah tetangga yang landai dan berbatu. Beberapa anak tampak mulai keluar menenteng ember kecil untuk mencari ikan. Dan seakan sayap tumbuh dari kedua pergelangan kaki, segera saja saya terbang menuju ke jembatan kecil yang walau tak tampak namun saya yakin ada disana. Beberapa kali loncatan tiba-tiba kaki ini kehilangan pijakan dan pandangan pun menjadi gelap gulita. Air masuk dengan derasnya ke dalam hidung dan mulut saya yang terbuka berusaha mencari udara. Saat itu saya pun tersadar, saya tercebur ke dalam sungai dan mulai tenggelam!
Sungai kecil itu hanya selebar satu setengah meter dan dangkal kala tidak hujan, namun saat dibombardir dengan air pasang dari laut, apalagi saat hujan melanda seperti ini maka kedalamannya bisa mencapai dua meter. Cukup dalam untuk menenggelamkan bocah perempuan berusia tujuh tahun. Saya tidak mau tenggelam! Saya tidak mau tenggelam! Bapak, Mama, tolong! Teriak saya keras tetapi sebenarnya hanya bergaung di dalam kepala. Kaki saya menendang kuat, tangan menggapai mencari tepian jembatan yang saya tahu ada disana namun sulit diraih. Mati-matian saya mempertahankan selembar nyawa di tubuh kurus kering ini hingga tangan saya akhirnya berhasil menggapai tepi jembatan. Saya mencengkeramnya sekuat tenaga, menarik tubuh keatas dan terduduk lunglai diatas jembatan yang masih tertutup air sungai. Ajaibnya, bocah-bocah kecil yang sibuk mencari ikan di sekitar sungai tidak melihat kejadian itu, mungkin karena waktunya yang singkat atau karena asyiknya mereka dengan udang dan ikan disana. Hilang sudah mood saya untuk mengeksplorasi sungai, perlahan saya menyeret kaki kembali ke rumah.
Siang berlalu dan peristiwa itu pun terlupa. Saat malam tiba tubuh saya diserang panas demam yang sangat tinggi dan suhunya tidak berkurang walau obat penurun panas telah ditegak beberapa kali. Bapak dan Ibu saya pun dibuat kalut dan kalang kabut melihat saya tergolek lemas dengan muka semerah kepiting rebus. Endang main apa tadi siang? Tanya Alm. Bapak saya dengan suara menggelegar yang menjadi khasnya. Ibu saya dengan muka cemas dan tangan gemetar sibuk mengganti kompres handuk di jidat saya, hanya bisa menjawab, Nggak kemana-mana, di rumah saja. Kan seharian hujan deras. Saya diam mengatupkan bibir kuat-kuat, enggan berbagi pengalaman mengerikan tercebur di sungai.Â
Bayangan sesosok wanita tampak menerobos dari pintu kamar, Tadi siang si Endang kan tercebur sungai di depan rumah. Tak cerita ya? Suara tegas dengan logat khas Melayu itu milik Tante Munah, adik Ibu saya, yang rumahnya hanya berjarak sekitar 400 meter. Bapak langsung melemparkan tatapan angker ke saya, mukanya yang gelap menjadi semakin bertambah suram, Benar itu Nduk? Tanya beliau. Saya hanya bisa mengangguk lemas. Ketahuan dah, pikir saya kalut. Mungkin kesambet penunggu sungai. Suruh Jumadi panggil Pak Dukun saja, rumahnya tak jauh dari sini, saran Tante saya itu terdengar aneh namun pada jaman itu pasien tercebur sungai biasanya dirujuk ke dukun dan bukan ke dokter.
Tiga puluh menit kemudian seorang pria usia setengah baya bertubuh kurus dengan kumis melintang angker di atas bibirnya tampak bersila di depan ranjang saya. Berpakaian adat Jawa lengkap dengan blankon di kepala, di sekelilingnya tampak bergeletakan benda-benda ritual aneh yang terlihat asing. Kemenyan mulai dinyalakan dan asapnya mengepul memenuhi kamar, Pak Dukun mengeluarkan sebilah keris berlekuk-lekuk dan mulutnya mulai berkomat-kamit sementara matanya terpejam khusuk. Di belakang beliau seluruh keluarga saya berdesak-desakan berdiri di pintu kamar dengan muka tegang bercampur ingin tahu. Air nya mana? Tanya Pak Dukun dan Ibu saya dengan tergopoh-gopoh menyodorkan sebuah gelas berisi air putih. Di tengah-tengah badan yang terasa panas dan kepala yang pusing tujuh keliling saya menonton ritual itu dengan mata melotot antara ngeri, tidak percaya dan takjub. Pak Dukun lantas menghirup gelas di genggamannya dan alangkah terperanjatnya saya kala air itu disemburkan ke muka saya dengan kuat. Hampir saja saya berteriak kaget namun tatapan gahar Bapak membuat teriakan itu tertelan kembali.
Jadi gimana dengan anak saya, Pak? Tanya Bapak saya harap-harap cemas ketika ritual telah usai. Dengan muka serius dan penuh khidmat Pak Dukun berkata, Tenang Pak, anak Bapak akan baik-baik saja. Saya sudah minta kepada jin penunggu sungai untuk tidak mengganggu dia lagi. Walau usia saya saat itu masih muda, sekitar tujuh tahun, namun ritual perdukunan seperti ini tidak masuk ke dalam nalar saya, jadi walau Bapak saya tampak mengangguk-anggukkan kepala dan mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada si Pak Dukun, saya memilih untuk memejamkan mata dan melanjutkan tidur. Tapi ajaibnya demam tinggi yang melanda badan saya berangsur hilang dan keesokan harinya saya sudah kembali bugar seakan-akan panas demam itu tidak pernah ada.
Kejadian diatas terjadi kala saya masih tinggal di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Saat itu saya masih berusia sekitar tujuh tahun dan rumah orang tua saya berada di Tanjung Unggat dimana rumah penduduk masih sangat jarang dan bagian belakang rumah dipenuhi oleh hutan belukar yang sarat dengan pohon bakau, kelapa dan semak paku. Di depan rumah kami mengalir sungai kecil yang jika air laut pasang akan penuh dengan ikan kitang-kitang dan sembilang. Hingga kini setiap kali teringat dengan kejadian 'kesambet jin' ini saya masih suka tersenyum-senyum dan bertanya-tanya sendiri apakah demam saya hilang karena faktor Pak Dukun atau karena obat penurun panas yang diberikan oleh Ibu saya.Â
Anyway busway, kita lupakan cerita panjang diatas, dan kembali ke resep yang kali ini saya berikan untuk anda. Hujan-hujan seperti ini memang paling sedap menyantap seporsi masakan berkuah yang panas dan pedas. Nah makanan bernama chilli ini berasal dari Texas, US dan memiliki banyak variasi, misalnya saja chilli con carne yang berwarna merah karena menggunakan tomat, kacang merah dan daging; Vegetarian chilli, jenis chilli yang sama seperti chilli con carne hanya saja tidak mengguanakan daging didalamnya; Chilli verde merupakan jenis chilli yang terkenal sangat pedas pada kuliner New Meksiko, terbuat dari potongan daging babi yang dimasak perlahan di dalam kaldu ayam, bawang putih, tomatilo dan cabai hijau yang dipanggang, biasanya chilli verde tidak menggunakan tomat di dalamnya; White chilli merupakan jenis chilli yang menggunakan daging bewarna putih seperti unggas (ayam atau kalkun) dengan kacang putih serta tidak menggunakan tomat di dalamnya.Â
Walau banyak jenisnya namun chilli pada umumnya memiliki kesamaan yaitu menggunakan bean (kacang) sebagai salah satu bahan dasarnya. Entah itu kacang merah (red dan white kidney bean), cannellini bean yang berwarna putih dan mirip dengan kidney bean, navy bean atau lima bean, black-eyed peas mirip dengan kacang tolo di Indonesia hanya saja berwarna putih sedikit bulat dengan bulatan berwarna hitam di bagian tengahnya.Â
Masakan bernama chilli selalu terkenal akan rasanya yang pedas, mengenyangkan karena kandungan kacang didalamnya, kental dengan aroma rempah khas Tex-Mex yang kuat seperti jintan, ketumbar (corriander) dan oregano. Umum disantap begitu saja seperti sup kental, atau bersama potongan roti, tortilla chips dan sebagai bahan pengisi burrito (makanan khas Meksiko yang terbuat dari lembaran tortilla yang digulung). Nah untuk white chilli yang saya hadirkan kali ini saya menggunakan kacang cannellini kalengan, anda bisa menggantikannya dengan kacang putih mentah lainnya. Rendam kacang selama semalam dan rebuslah hingga lunak. Kacang cannellini kalengan ini banyak tersedia di supermarket dengan aneka merk, tiriskan airnya dan siram dengan air bersih beberapa kali untuk mengurangi kandungan sodium di dalamnya.Â
Selain cannellini bean maka saya juga menggunakan dada ayam, jamur champignon dan banyak porsi cabai hijau besar. Untuk jamur anda bisa skip karena biasanya chilli tidak menggunakan jamur di dalamnya. Bumbu khas chilli yang membuat rasanya menjadi unik adalah digunakannya jintan, ketumbar dan cincangan oregano di dalamnya. Oregano segar akan memberikan rasa dan aroma lebih fresh namun sulitnya menyimpan oregano segar di kulkas membuat saya hanya menggunakan versi keringnya. Untuk memberikan rasa nendang maka kucuran air jeruk nipis juga ditambahkan ke dalam kuah.Â
Well, masakan ini luar biasa mudah dibuat dan tidak memerlukan waktu yang lama jadi jika anda menginginkan menu simple nan spesial sebagai teman makan malam maka white chicken chilli ini bisa sebagai alternatif yang mantap. Berikut resep dan prosesnya ya!
White Chicken Chilli
- 2 potong fillet dada ayam, berat sekitar 250 gramÂ
- 1 kaleng kacang putih dalam air, berat setelah ditiriskan sebanyak 250 gram. Tiriskan dan siram dengan air beberapa kali untuk membuang kelebihan sodium
- 6 buah jamur champignon, potong kubus (optional)
Bumbu:
- 1 sendok makan minyak untuk menumisÂ
- 1/4 sendok teh jintan bubuk
- 1 sendok teh ketumbar bubuk Â
- 1 sendok teh cabai bubuk (optional)
- 8 buah cabai hijau besar, buang biji dan rajang kasar
- 5 buah cabai rawit hijau, rajang halus
- 3 siung bawang putih, cincang halus
- 1 buah bawang bombay, cincang halus
- 1 sendok teh merica bubuk
- 1/2 sendok makan garamÂ
- 2 butir jeruk nipis, peras airnya atau 1 sendok teh vinegar/cuka masakÂ
Pelengkap:
- irisan jeruk nipis/lemon
- keju cheddar parut (optional)
Cara membuat:
Siapkan panci, panaskan minyak. Tumis jintan, ketumbar dan bubuk cabai (jika pakai) menggunakan api kecil sambil diaduk-aduk hingga harum dan mendidih.Â
Masukkan bawang bombay, bawang putih, cabai dann tumis hingga harum dan layu. Tambahkan jamur, aduk dan tumis hingga jamur layu. Masukkan kaldu ayam, masak dengan api kecil hingga mendidih.Â
Masukkan dada ayam, masak dengan api kecil hingga dada ayam menjadi matang. Angkat dan suwir-suwir ayam dengan menggunakan dua buah garpu.Â
Note: jangan terlalu lama merebus ayam, karena dagingnya akan menjadi alot dan kurang juicy.Â
Masukkan ayam dan kacang ke dalam panci. Tambahkan merica bubuk, oregano, dan garam. Masak hingga kuah mendidih dan bahan matang, cicipi rasanya. Tambahkan perasan air jeruk nipis. Angkat dan sajikan panas-panas dengan taburan keju parut (jika pakai). Super yummy!
Sources:
Wikipedia - Chilli con carne[1]
BBC Good Food - Cannellini Bean[2]
References
- ^ Chilli con carne (en.wikipedia.org)
- ^ Cannellini Bean (www.bbcgoodfood.com)
Source : http://www.justtryandtaste.com/2014/11/white-chicken-chilli.html