-->

Sabtu, 16 Juli 2016

Pulang ke kotamu, Ada setangkup haru dalam rindu

Masih seperti dulu, Tiap sudut menyapaku bersahabat, Penuh selaksa makna

Terhanyut aku akan nostalgi, Saat kita sering luangkan waktu

Nikmati bersama, Suasana Jogya

Di persimpangan langkahku terhenti, Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera, Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi, Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, Ditelan deru kotamu ...


Lirik lagu, Jogyakarta - Kla Project


Jogya, sebuah kota dengan sejuta memori bagi saya.  Suka duka, tawa canda dan air mata semua berbaur menjadi satu dalam kenangan. Kenangan itu kini hadir kembali, tumpah ruah bagaikan air bah dalam setiap sel otak saya kala kaki ini menginjakkan diri kembali ke kota yang telah lama saya tinggalkan. Setiap sudut jalan dan tempat yang dulu begitu akrab dalam kehidupan saya, yang sebelumnya terbenam dan untuk sementara terlupakan dalam relung ingatan terdalam, kini segar kembali kala mobil sewaan yang saya tumpangi perlahan menyusuri jalan di Condongcatur menuju ke pusat kota.

Mata ini menatap tanpa kedip ke gang-gang kecil yang dulu akrab dalam kehidupan saya karena seringnya berlalu-lalang disana bersama motor kesayangan, Honda bebek Astrea Prima. Di salah satu jalan kecil berdebu itu rumah kost saya dulu berada, entah apakah masih berada disana sekarang. Walau sebagian bangunan tampak asing namun beberapa masih dengan mudah saya kenali. Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran Jogyakarta, kampus tempat saya belajar selama hampir lima tahun lamanya tampak tidak banyak berubah. Disanalah saya mengenal Uut, Novi, Erny, Rita, Kinta, Dewi, Bambang, Drie, Ipul, Aan, Ogut, dan masih banyak teman lainnya. Ah, apa kabar kalian semua? ^_^

Narsis di Borobudur
Ah bocah-bocah di Prambanan ini berbakat menjadi model, termasuk si Ibu! ^_^
Si Nenek tidak kalah seragamnya dengan pasukan Pramuka di Malioboro
Bicara tentang Jogya bagi saya selalu berhubungan dengan nostalgia jaman kuliah, karena memang itulah tujuan saya menetap disana yaitu untuk belajar. Tapi kota ini bukan hanya nyaman sebagai tempat untuk mengenyam pendidikan (bagi perantauan dari kampung dengan uang saku pas-pasan seperti saya!), tetapi juga merupakan tempat yang kental dengan kultur Jawa yang saya gandrungi. Masyarakat Jogya yang ramah, suasana kota yang aman, nyaman dan tidak macet (waktu itu), biaya hidup yang murah, makanan yang enak, teman kampus yang mengasyikkan, hingga sentuhan tradisional dan seni di setiap sudut kota membuat hati ini betah berlama-lama disana. Bahkan sempat tercetus keinginan waktu itu untuk menetap di Jogya setelah lulus kuliah, namun apa daya, Jakarta dan seribu kesempatan yang ditawarkan memanggil. ^_^

Ingatan saya akan masa kuliah di Jogya selalu dipenuhi dengan bayangan sesosok mahasiswi culun yang kuper dan pemalu (terutama  dengan lawan jenis), seperti yang sering saya sebutkan di postingan-postingan sebelumnya di JTT. Saya menyembuyikan kelemahan fatal  itu dengan sok menjadi kutu buku dan bergaya ekstra cuek padahal semua panca indera saya aktif memancarkan sinyal-sinyal waspada. Semua itu makin diperparah dengan penampilan saya yang over weight, tomboy dan rambut keriting kribo hasil eksperimen salon abal-abal di kampung. 

Aneka gerabah yang membuat saya 'ngiler'
Perkakas batu di Borobudur yang sayangnya terlalu berat untuk naik ke pesawat.
Kuntum melati yang sering dipakai untuk prosesi upacara adat di Jogya

Nah rambut keriting ini bukan tanpa cerita. Waktu itu saat saya lulus SMA dan menunggu pengumuman masuk ke Perguruan Tinggi, keluarga Ibu saya dari Tanjung Pinang datang ke Paron. Beberapa Tante beserta suaminya dan serombongan sepupu singgah di rumah kami yang bentuknya amburadul seperti kapal pecah. Sekian tahun lamanya tidak bersua, terakhir kami bertemu saat saya masih duduk di Sekolah Dasar, sehingga ketika kami dipertemukan kembali rasa terkejut pun muncul di dada. 

Salah satu sepupu saya, putri Tante Munah, bernama Elly, yang sebaya dengan saya telah tumbuh menjadi remaja putri yang tinggi langsing dan cantik jelita. Tampilannya hampir seperti model terkenal di cover majalah remaja, membuat saya semakin tidak percaya diri. Rasa kagum, tak berdaya dan juga iri perlahan menyelinap di hati betapa inginnya saya memiliki penampilan seperti Elly. Saat itu model rambut keriting gantung sedang naik daun dimana-mana dan rambut Elly yang panjang, halus serta sedikit kepirangan tampak cantik dengan model tersebut. Susah merubah penampilan dengan menurunkan berat badan secara tiba-tiba saya pun mencetuskan resolusi merubah model rambut lurus kaku bak sapu ijuk yang saya miliki menjadi seperti model rambut Elly. Terbayang betapa cantiknya saya ketika masuk kuliah nanti. 

Warna-warni bubur sumsum di Beringharjo
Pecel, bacem dan aneka gorengan di Beringharjo
Takoyaki di tepian jalan Malioboro

Ibu saya langsung menyetujui dan men-support ide saya, sepertinya beliau juga memendam rasa desperate dengan penampilan putrinya yang kacau balau. Berdua kami pun berjalan dengan semangat menuju ke salon di gang belakang rumah. Saat itu Santi's Salon ini merupakan salon terbaik di Paron, dengan tarif lebih mahal dibandingkan salon lainnya. Biasanya Ibu saya enggan membawa kami kesana, dan lebih memilih untuk memotong rambut anak-anaknya di tukang cukur di pasar di depan rumah. Kali ini tampaknya beliau benar-benar serius hendak mempermak penampilan saya. Setelah mendengarkan instruksi Ibu mengenai model rambut yang diinginkan tentu saja dengan embel-embel, Kasih obat keritingnya banyak-banyak Mbak  Santi, rambutnya si Endang itu kaku banget, jadi susah keritingnya. Santi pun langsung dengan cekatan menggulung rambut tebal dan kaku saya dengan alat keriting dan mengucurkan obat keriting sebanyak yang dia mampu. Bau obat menyeruak di seantero salon sempit itu dan membuat saya mengucurkan air mata karena pedih, namun bayangan keriting gantung di rambut Elly menari-nari di balik pelupuk mata. Cantik itu sakit, Jenderal!

Setelah tiga jam saya bengong di kursi salon menunggu obat keriting bekerja, pegal dan kaku di badan mulai tak tertahankan, terutama di bagian leher karena saya tidak bisa merebahkan kepala yang penuh dengan alat keriting yang berjubelan. Menjelang Maghrib penantian itu tiba juga. Udah waktunya dibuka alat keritingnya, instruksi Mbak Santi. Namun sayangnya salon saat itu sedang ramai-ramainya dan si pemilik salon pun sedang mempermak rambut pelanggan lainnya, akhirnya Ibu saya pun mengajukan diri. Sini,  Mama saja yang buka dan cuci rambutnya. Kerjaan gitu saja apa susahnya sih? Saya pun menganggukkan kepala, walau ragu dengan skill beliau namun happy juga dengan  semangatnya yang membara. 
Miniatur becak yang legendaris
Becak, transportasi favorit saya untuk menikmati Jogya
Jajaran andong di depan Keraton Jogya

Alat keriting pun dibuka, dan alangkah terperanjatnya saya menyaksikan setiap jengkal rambut di kepala melingkar lebay seperti mie telor. Nggak apa-apa, nanti kalau sudah dicuci dan diblow baru kelihatan bentuknya, cetus Ibu saya dengan wajah cemas. Mungkin dag dig dug juga jantungnya melihat putrinya tiba-tiba berubah menjadi Hydra, monster a la mitologi Yunani dengan rambut ular berjubelan di kepala. Ibu pun mencuci rambut saya dengan gosokan kuat hingga membuat kulit kepala terasa sakit dan saya pun ter-aduh dan aduh kembali penuh penderitaan. Mungkin waktu itu Ibu saya berpikir, mencuci rambut dengan gosokan kuat akan membuat keriting sedikit berkurang. Pelan-pelan dong Ma, sakit nih! Teriak saya keras. Sabar tho Ndhuk, Mama-mu ini biasanya ngucek baju bukan ngelus-ngelus rambut, balas Ibu saya. Mba Santi yang sedang sibuk menggunting rambut pelanggannya hanya memandang dari jauh segala tingkah polah duo Ibu dan anak tanpa memberikan komentar sedikitpun. 

Hasil akhir eksperimen keriting gantung yang saya lakukan sudah bisa diduga - setelah melalui proses mencuci berkali-kali dan tarikan kuat hair dryer saat Mbak Santi mengeringkan rambut yang semua itu ternyata tidak bisa mengurangi keritingnya - rambut saya pun mekar mengembang, super keriting,  tanpa ada model menggantung sama sekali. Namun yang jelas model ini membuat wajah saya yang chubby bulat menjadi semakin bundar. Muka kok ya lebar banget seperti tampah, kata-kata Bapak saya terngiang-ngiang kembali di telinga. Terkadang beliau lupa betapa miripnya wajah kami berdua! ^_^

Hari pertama kuliah saya pun dimulai dengan penampilan yang  mengkhawatirkan. Rambut keriting ini saya sembunyikan dengan mengikatnya ekor kuda sepanjang waktu. Ketika setahun kemudian si rambut mulai memanjang, saya pun menggunting semua keritingnya dan mengganti modelnya menjadi bob pendek. Lucunya, banyak teman kuliah saya yang kemudian lupa dengan kehadiran saya di tahun awal kuliah dan pernah bertanya, Endang, kamu anak baru ya? Nggak pernah lihat di tahun-tahun pertama kuliah. Gubrak! Pelajaran yang bisa saya petik dari kisah diatas adalah bersyukurlah dengan apa yang sudah diberikan Tuhan kepada kita, dan apa yang baik bagi orang lain belum tentu tepat dan baik buat diri kita. Okeh memang lebih baik menghibur diri sendiri dibandingkan mimpi di siang bolong tak tentu arah bukan? ^_^

Aneka rupa warna baju batik di Malioboro
Pecinta daster batik seperti saya? Malioboro surganya
Lorong di Malioboro

Sekarang kita kembali ke liburan singkat saya di Jogya beberapa minggu yang lalu. Sebenarnya ini adalah topik utama tulisan saya kali ini namun betapa mudahnya saya teralihkan dengan kisah lainnya. Tempat kunjungan saya yang utama sebenarnya adalah Malioboro, pasar Beringharjo dan sekitarnya, karena itulah saya pun memilih untuk menginap di salah satu hotel di jalan Dagen yang lokasinya sangat berdekatan dengan Malioboro. Namun karena mobil yang saya sewa bisa saya pergunakan selama dua belas jam lamanya, akhirnya Borobudur dan Prambanan pun masuk di dalam schedule. Terakhir kali saya ke Borobudur adalah pada saat saya duduk di bangku SMP, saat itu sekolah saya mengadakan study tour ke Jogya. Dimata seorang bocah cilik berusia tiga belas tahun maka candi Borobudur hanya merupakan tumpukan batu yang luar biasa besar, luar biasa tinggi dan seakan tak habis-habisnya untuk didaki hingga kaki ini penat dan dada terasa sesak oleh nafas yang ngos-ngosan. Ingatan itu tetap terbawa hingga saya dewasa. 

Ketika saya kembali kesana lagi, pandangan dangkal itu berubah. Kekaguman saya dimulai dari betapa rapi, bersih dan teraturnya area kompleks candi. Pemerintah Magelang, daerah tempat dimana candi ini berada,  sepertinya telah bekerja keras untuk mengelola obyek wisata ini secara profesional. Area ticketing yang rapi lengkap dengan pintu masuknya yang otomatis, petugas yang ramah, bentangan taman-taman menghijau yang tertata indah membuat saya ber-uh dan ah berkali-kali. Seandainya semua obyek wisata di tanah air dikelola seapik ini, niscaya wisatawan mancanegara akan tersedot ke tanah air dan bukannya ke Thailand, Malaysia, atau Vietnam. 

Borobudur masih tetaplah candi yang berukuran besar namun tidak terlalu tinggi lagi dalam pandangan baru saya. Dalam pandangan baru ini,  candi yang bertengger tinggi diatas bukit dan dikelilingi oleh gunung Sundoro-Sumbing, Merbabu-Merapi, bukit Tidar dan perbukitan Menoreh ini tampak memancarkan aura perkasa yang kuat, aura megah yang angker.  Sambil menyusuri lorong demi lorong yang dipenuhi dengan ribuan detail relief di dindingnya saya pun berusaha menebak kisah dibaliknya. Seorang biksu berpakaian jingga menyala tampak memejamkan mata sambil mengatupkan kedua telapak tangan di dada berdoa di depan sebuah arca Budha, membuat imajinasi ini pun mengembara kembali ke abad 9, masa ketika candi ini didirikan. Terbayang upacara dan ritual yang terjadi pada saat itu serta jutaan doa yang pernah dipanjatkan disana, membuat kuduk ini pun  meremang. Borobudur memang luar biasa. 

Aneka kuningan dan perabot di pasar barang bekas
Salah satu sudut toko di pasar barang bekas dan antik di Beringharjo
Si Ibu yang rapi jali, santai menunggui dagangan radio bekas tua-nya

Selain candi Borobudur saya pun menyempatkan diri ke candi Prambanan, sama seperti candi sebelumnya maka Prambanan juga dikelola dengan apiknya. Sayangnya banyak pekerjaan konstruksi yang sedang terjadi sehingga sedikit mengurangi pemandangan indah disana. Karena saya datang di siang hari bolong maka sendratari Ramayana yang biasanya diadakan di pelataran Prambanan belum dimulai. Segerombolan bocah-bocah tampak duduk berteduh di sebuah kursi di bawah pohon, peluh berleleran di dahi dan leher mereka. Ketika kamera saya arahkan untuk mengambil momen santai itu maka belasan bocah lainnya pun ikut nimbrung di depan kamera. Bahkan seorang Ibu turut serta disana membuat saya tertawa.  Jepret! Dan momen itu pun diabadikan. Suasana candi ini relatif sepi sehingga saya hanya melewatkan waktu sejenak disana. 

Di hari Sabtu, waktu saya lebih banyak dihabiskan di sekitar jalan Malioboro dan sekitarnya. Menyusuri sepanjang jalan Malioboro seperti bernostalgia kembali ke masa lalu,  sudah tak terhitung berapa banyaknya saya berjalan disini dari ujung satu ke ujung lainnya. Ajaibnya waktu sepertinya membeku di jalan ini, semua masih sama dan tidak banyak berubah seperti masa lima belas tahun yang lalu. Tukang becak ramai menawarkan jasanya. Sepuluh ribu rupiah saja Mba, jalan ke Keraton dan kembali lagi, tawar mereka ramah. Saya menggelengkan kepala, Maliboro paling asyik dinikmati dengan berjalan kaki sambil mata ini sibuk melihat aneka dagangan yang dijual di sepanjangnya. Sesekali kamera saya jepretkan untuk menangkap obyek penuh warna yang menarik disana. 

Canthing dan batik di sebuah galery di seputar Kraton
Aneka lukisan di sepanjang jalan Malioboro
Bunga dari serutan kayu, merupakan salah satu kerajinan khas Jogya
Penggila aksesoris etnik, tidak boleh melewatkan aneka kalung kayu yang cantik ini
Tujuan utama saya adalah pasar Beringharjo untuk mencari aneka perabot dapur dari kayu dan gerabah. Di hari Sabtu, pasar ini penuh sesak sehingga sulit untuk bisa dinikmati dengan tenang. Saya pun memilih menghampiri Ibu-Ibu penjual gerabah di tepi jalan di luar pasar, mereka tampak sedang duduk santai di 'dingklik' kecil sambil jemari tangan dengan cekatan merangkai kuntum melati. Beberapa wajan kecil, mangkuk, dan panci dari tanah liat serta sendok-sendok kayu masuk ke dalam plastik belanjaan saya. Terbayang foto-foto makanan di JTT yang semakin cantik dengan koleksi baru yang murah ini. Atas petunjuk si Ibu penjual, kaki saya pun melangkah ke sisi pasar lainnya, kali ini saya menuju ke pasar barang bekas dan antik.  

Pasar barang bekas ini hanyalah sebuah jalan kecil yang dipenuhi oleh kios-kios kecil yang menjual aneka kuningan, perkakas dapur dan guci-guci kuno. Beberapa penjual menjual kerajinan khas Jogya berupa miniatur becak, sepeda, dan andhong yang terbuat dari metal. Sebuah becak dengan jok kursi merah menyala harganya hanya tujuh puluh ribu rupiah saja, bayangkan betapa harga itu akan berlipat ganda jika dijual di sebuah mall di Jakarta. Seorang Ibu tua, yang masih terlihat cantik dengan pakaian adat Jawa lengkap nan rapi tampak duduk santai di depan kios radio tuanya. Mulutnya asyik mengemil makanan kecil sambil mendengarkan musik gamelan Jawa yang menenangkan hati. Di jalan ini saya membeli beberapa sendok bekas yang terbuat dari kuningan dan beberapa tusuk konde tua yang entah akan saya pergunakan untuk apa. 

Waktu saya hari itu lebih banyak dihabiskan untuk berkeliaran di sepanjang jalan, ketika lelah meraja maka sayapun singgah di sebuah warung soto di jalan Malioboro. Warung ini sudah ada disana ketika saya kuliah di Jogya, dan saya masih ingat dengan rasanya yang sedap dan segar. Sambil menyeruput kuah beningnya saya pun menikmati suasana Jogya yang damai. Jogya, I love u pull! ^_^



Source : http://www.justtryandtaste.com/2014/12/jogyakarta-i-love-you-full.html
 
Sponsored Links