-->

Sabtu, 20 Juni 2015


Dapur suram itu berada di sudut rumah. Tepatnya terletak di bagian paling belakang rumah tua berdinding anyaman bambu tersebut. Berdekatan dengan pintu keluar menuju halaman yang penuh sesak ditumbuhi oleh pepohonan pisang, keluwih, kelapa dan aneka belukar. Sebenarnya tidak tepat juga jika ruangan itu disebut dapur, mungkin lebih tepat jika disebut gudang. Karena disitu terdapat juga: Tumpukan kayu bekas bangunan yang menjulang tinggi hingga ke langit-langit;  Beberapa kurungan bambu beserta selusin lebih ayam yang mendekam di lantai ketika senja tiba; Gentong-gentong tempat menyimpan beras yang terkadang digunakan untuk menyimpan pisang kepok mengkal agar menjadi matang; Serta aneka perkakas dapur dan alat bertukang di setiap sudutnya.  

Lantainya terbuat dari tanah yang dikeraskan. Saat musim hujan melanda maka lantai itu terasa lembab dan berbau apak, membuat suasana secara keseluruhan menjadi semakin bertambah suram. Aroma di dalam ruangan itu berganti-ganti mengikuti aktifitas yang terjadi di dalamnya. Saat pagi dan sore hari, ketika si pemilik rumah mempersiapkan hidangan hari itu maka seantero rumah akan tercium bau harum masakan yang menggugah selera. Ketika panen pisang tiba, maka wangi pisang yang sedang diperam menunggu masak akan mendominasi. Namun di sebagian besar waktunya, dapur itu lebih sering tercium bau apak, lembab dan ayam.


Untuk memasak, digunakan sebuah tungku panjang yang terbuat dari tanah liat bercampur semen. Bahan bakarnya berupa sedikit potongan kayu, 'gabukan' (kulit padi yang telah kering) serta segunung dedaunan pisang kering yang disebut klaras. Sebuah panci berisi air bertengger di salah satu lubang di permukaan tungku dan wajan besi berwarna hitam di lubang tungku lainnya. Seorang wanita tua dengan baju tradisional khas Jawa yang telah usang, tampak duduk membungkukkan badan di dingklik kecil di depan tungku. Tangan kanannya sibuk mengatur kayu dan klaras yang berjejalan di mulut tungku, sedangkan tangan kirinya mengayun-ayunkan sebuah kipas bambu tanpa henti. Gerakannya santai, tenang dan perlahan sementara raut wajahnya tampak datar tanpa emosi walaupun api kecil di dalam tungku seakan enggan untuk menjilat klaras yang dimasukkan. Klaras itu lembab, akibat hujan yang turun di Paron selama berhari-hari. Alih-alih lidah api yang dihasilkan, asap putih justru tampak mengepul tebal, memenuhi seluruh ruangan membuat wanita tersebut terbatuk-batuk tanpa henti.
Seorang bocah perempuan kecil terlihat duduk berjongkok tak jauh dari tungku. Matanya menatap penuh antusias kegiatan memasak yang dilakukan. Tak dihiraukannya asap memuakkan yang membuat kedua bola matanya memerah pedih dan dadanya terasa sesak. Kenapa apinya tidak menyala, Mbah? Tanyanya dalam bahasa Jawa, sementara tangan kecilnya tampak menjulur berusaha untuk memasukkan kayu bakar ke dalam tungku. Mengko dhisik tho (Nanti dulu dong). Jangan dimasukkan banyak-banyak kayunya. Nanti apinya malah tidak bisa hidup! Cetus  wanita yang dipanggil Mbah oleh si bocah perempuan. Dikasih kayu Mbah supaya hidup apinya. Klarasnya basah, saran bocah itu sok tahu. Kayu bakar mahal, kita pakai klaras saja yang gratis. Sudah sana main di depan, jangan ganggu Mbah masak, usir si wanita tua ke cucu perempuannya yang usil. Sambil bersungut-sungut si bocah pun beranjak pergi meninggalkan dapur pengap itu. Meninggalkan si nenek yang masih berjuang untuk menghidupkan api tungku. Meninggalkan kesempatan untuk melihat racikan bumbu leluhur yang digunakan untuk memasak hidangan 'spesial' hari itu. Dan meninggalkan resep rahasia yang hanya diketahui oleh Mbah Wedhok.

Cuplikan nostalgia di atas adalah sepenggal kenangan akan masa kecil saya di Paron. Kala itu karena Alm. Bapak tiba-tiba dipindahtugaskan dari Tanjung Pinang ke Maospati, maka kami pun sekeluarga pindah ke Paron, Ngawi dan tinggal bersama orang tua Bapak disana. Walau Ibu saya termasuk jago dalam urusan masak-memasak, namun kala itu kegiatan tersebut menjadi tugas dari Mbah Wedhok (sebutan untuk nenek dalam bahasa Jawa) sehari-hari. Pada awalnya, kami yang tak terbiasa dengan masakan a la Jawa yang terasa manis dengan bumbu sederhana, merasa sulit untuk beradaptasi dengan masakan Simbah. Ditambah kondisi dapur Mbah Wedhok yang menjadi satu dengan gudang dan kandang ayam, membuat kami semakin susah untuk menelan makanan yang dihidangkan. Kondisi ini diperparah dengan kegemaran Mbah memasak dengan menggunakan daun pisang kering dan aneka dedaunan lainnya dari kebun, alasannya apalagi kalau bukan pengiritan. Kayu bakar mahal harganya sementara klaras dan dedaunan kering selalu ada di halaman setiap hari. Akhir cerita pun mudah ditebak, setiap kali Mbah memasak maka asap pun bergulung-gulung di dapur, meninggalkan tangan dan muka yang 'cemong' oleh jelaga dan masakan yang beraroma asap. 

Lambat laun seiring dengan waktu, lidah saya pun menjadi terbiasa dengan masakan Mbah. Walau tampilannya tampak tidak menggugah selera, namun saya akui rasanya sebenarnya sangat lezat. Hidangan sederhana seperti sayur menir yang terbuat dari bayam liar dan jagung muda yang dibumbui dengan temu kunci terasa segar dan pas cita rasanya, walau kuahnya terlihat keruh kecoklatan. Masakan andalan beliau yang masih saya ingat hingga kini karena Bapak sangat menyukainya adalah mangut lele, bothok welut dan nasi goreng cabai hijau. Setiap kali Mbah membuatnya maka saya pun bersiap menumpukkan segunung nasi panas ke piring membuat Ibu saya memelototkan matanya. Sayangnya tidak ada seorang pun di keluarga kami yang tahu bumbu spesial apakah  yang dimasukkan oleh Mbah di dalam setiap masakannya. Bahkan kedua Bu Lik saya yang merupakan putri Mbah Wedhok tidak pernah mempelajarinya. Alhasil masakan Mbah Wedhok hanya menjadi kenangan dalam ingatan yang tidak pernah saya lupakan.

Nah mangut ikan kakap yang kali ini saya hadirkan mungkin tidak selezat mangut ikan lele legendaris buatan Mbah Wedhok. Resep mangut ini merupakan hasil kutak-katik yang saya lakukan sendiri. Walau tidak menggunakan resep spesial nenek, namun percayalah rasanya sungguh mantap. Apalagi saat cuaca mendung dan sejuk seperti yang melanda Jakarta akhir-akhir ini, maka menyantap nasi hangat ditemani lauk berkuah 'nyemek-nyemek' bernama mangut memang membuat nafsu makan menjadi berlipat ganda. 

Untuk membuatnya sangat mudah dan anda bebas menggunakan jenis ikan lainnya baik ikan air tawar maupun  ikan laut. Kunci utama kelezatan mangut ini adalah kuah yang 'nyemek-nyemek' dan kental, jadi jangan tergoda untuk menambahkan banyak kuah ke dalamnya ya.  

Berikut resep dan prosesnya yang super duper mudah! ^_^


Mangut Ikan Kakap

- 3 ekor ikan kakap, berat ikan masing-masing 200 - 250 gram + 1 buah jeruk nipis + 1 sendok makan garam

- 80 ml santan kental instan, encerkan dengan 300 ml air

Bumbu untuk menggoreng ikan, dihaluskan:
- 2 ruas jari kunyit
- 1 sendok makan ketumbar
- 1/2  sendok makan garam
- 4 siung bawang putih 
- 1 ruas jari jahe

Bumbu dihaluskan untuk mangut: 

- 5 buah cabai merah keriting

- 5 buah cabai rawit merah/hijau

- 5 siung bawang merah

- 4 siung bawang putih

- 2 ruas jari jahe 
- 2 ruas jari kencur

- 1/2 sendok teh terasi bakar

- 4 butir kemiri, sangrai

- 1 sendok teh ketumbar


Bumbu lainnya:

- 2 ruas jari lengkuas, memarkan

- 4 lembar daun jeruk purut

- 4 lembar daun salam

- 1/2 sendok teh garam
- 1/2 sendok teh merica bubuk 
- 1 sendok makan gula Jawa, sisir halus
- 1/2 sendok teh gula pasir

- 1 sendok teh kaldu bubuk instan (optional). Tambahkan porsi garam jika anda tidak menggunakan kaldu instan 

Cara membuat:


Siapkan ikan kakap, saya menggunakan jenis kakap putih. Siangi insang dan sisiknya, buang isi perutnya. Sayat-sayat permukaan ikan dengan pisau tajam, jaga jangan sampai badan ikan terputus. Lumuri seluruh badan ikan dan rongga perutnya dengan air jeruk nipis dari 1 butir jeruk dan 1 sendok makan garam. Remas-remas dan diamkan selama 15 menit. Cuci hingga bersih. 

Lumuri ikan dengan bumbu yang dihaluskan untuk menggoreng ikan, masukkan bumbu ke dalam rongga perut. Siapkan wajan anti lengket, tuangkan minyak agak banyak agar ikan tenggelam ke dalam minyak saat digoreng. Panaskan hingga minyak benar-benar panas dan goreng ikan hingga permukaannya kecoklatan dan matang. Balikkan ikan dan goreng sisi lainnya hingga matang. Angkat dan tiriskan.

Tips: Jika anda menggoreng ikan dan lengket di wajan, tips dari Ibu saya ini mungkin bisa anda coba. Gorenglah ikan hingga satu sisi benar-benar kering dan matang, baru ikan dibalikkan untuk menggoreng sisi lainnya. Membolak-balikkan ikan selagi ikan belum matang akan membuat ikan hancur. Jika ikan lengket di wajan walau sisinya sudah matang, matikan api kompor dan biarkan minyak agak mendingin baru cobalah untuk membalikkan ikan kembali. 

Tuangkan minyak bekas menggoreng ikan di wajan ke wadah/mangkuk tahan panas lainnya. Masukkan sekitar 2 sendok makan minyak di wajan. Panaskan minyak hingga benar-benar panas. Tumis bumbu halus untuk mangut hingga harum, tambahkan bumbu pelengkap lainnya dan tumis hingga rempah-rempah menjadi layu dan bumbu berubah warnanya menjadi agak gelap.

Tuangkan santan, masak dengan api kecil sambil masakan diaduk-aduk hingga kuah mendidih dan kental. Jika kuah dirasa terlalu sedikit, tambahkan sedikit saja air panas ke dalamnya, jangan memasukkan banyak air ke dalam masakan karena rasanya akan menjadi kurang nendang.


Cicipi rasa kuah, sesuaikan gula dan garam. Kemudian masukkan ikan goreng ke wajan, tekan ikan perlahan hingga kuah meresap ke dalam ikan. Siram-siram kuah ke permukaan ikan yang tidak tersentuh oleh kuah. Masak selama 1 menit kemudian matikan api kompor.

Sajikan mangut ikan dengan nasi panas. Super yummy!


Source : http://www.justtryandtaste.com/2015/01/mangut-ikan-kakap-nostalgia-dapur-mbah.html
 
Sponsored Links